Kamis, 27 November 2014

Thuruq at-Tahammul dan Shighah al-Ada’a

0 komentar

Yang dimaksud dengan ”thuruq at-tahammul” (jalan menerima hadits) adalah cara-cara talaqi hadits dan bagaimana mengambilnya dari guru-guru.

Adapun yang dimaksud dengan “shighah al-ada’a” (bentuk penyampaian hadits) adalah lafazh-lafazh yang digunakan oleh ahli hadits dalam meriwayatkan dan menyampaikan hadits kepada muridnya, contohnya : ”sami'tu..." (aku telah mendengar), atau "haddatsani" (telah bercerita kepadaku), atau yang semisal demikian itu.

Bukan menjadi syarat bagi yang menerima hadits, mesti muslim dan baligh, inilah pendapat yang shahih. Berbeda ketika menyampaikannya, penyampai disyaratkan Islam dan baligh. Maka diterima riwayat seorang muslim yang baligh dari hadits yang ia terima sebelum masuk Islam, atau sebelum balighnya, dengan syarat tamyiz bagi yang belum baligh kecuali pada hal ijazah. Dan sebagian ulama memberi batasan minimal berumur lima tahun. Namun yang benar itu, cukuplah dengan batasan tamyiz. Ketika ia dapat memahami pembicaraan dan memberikan jawaban, itulah tamyiz, shahih sima’nya. jika tidak, maka tidak diterima, kecuali berkenaan dengn ijazah. Ia memiliki catatan tersendiri.  

Sebagian ahli hadits ketika menyebut kegiatan sebagian anak dalam mengikuti majelis hadits ketika sudah berumur lima tahun dengan sami’a (ia mendengar) dan ketika belum lima tahun dengan hadhara (ia hadir) atau uhdhira (ia diajak menghadiri). Hal itu biasa dijumpai dalam sebagian manuskrip yang berbicara tentang daftar pendengar majelis hadits para ulama.

Dan jalan untuk menerima hadits itu ada delapan, yaitu; as-sama' yakni mendengar dari lafazh syaikh, al-qira'at atau membaca kepada syaikh, al-ijazah, al-Munawalah, al-kitabah, al-I'lam, al-washiyyah, dan al-wijadah.

Berikut ini masing-masing dari delapan jalan itu disertai penjelasan singkat dan lafazh-lafazh dalam penyampaiannya :

1. As-sama’ atau mendengar dari lafazh guru:

Seorang guru membaca dan murid mendengarkan, baik guru membaca dari hafalannya atau dari tulisannya, dan baik murid mendengar atau menulis apa yang didengarnya, atau hanya mendengar saja dan tidak menulis. Menurut jumhur ulama, as-sama' ini memiliki derajat yang paling tinggi dalam tata cara pengambilan hadits.

Lafazh-lafazh penyampaian hadits melalui as-sama’ adalah: "aku telah mendengar” dan “telah menceritakan kepadaku” jika banyak perowinya: "kami telah mendengar dan “telah menceritakan kepada kami” Ini menunjukkan bahwasanya dia mendengar dari sang syekh bersama yang lain.

Adapun lafazh ”telah berkata kepadaku” atau ”telah menyebutkan kepadaku", lebih tepat untuk mendengarkan dalarn mudzakarah pelajaran, bukan untuk mendengarkan hadits.

2. Al-qira’ah artinya membaca kepada syaikh. Para ahli hadits menyebutnya: “Al-Ardh”.

Bentuknya, seorang perawi membaca hadits kepada seorang syaikh, dan syaikh mendengarkan bacaannya untuk meneliti, baik perawi yang mernbaca atau orang lain yang membaca sedang syaikh rnendengarkan, dan baik bacaan dari hafalan atau dari buku, atau baik syaikh mengikuti pembaca dari hafalannya atau memegang kitabnya sendiri atau memegang kitab orang lain yang tsiqah.

Mereka berselisih pendapat tentang rnembaca kepada syaikh, apakah dia setingkat dengan as-sama’, atau lebih rendah darinya, atau lebih tinggi darinya? Yang benar adalah lebih rendah dari as-sama'.

Ketika menyampaikan hadits atau riwayat yang dibaca si perawi rnengunakan lafazh-lafazh : "aku telah membaca kepada fulan”, atau ”telah dibacakan kepadanya dan aku mendengar orang membaca lalu ia menyetujuinya,

Lafazh as-sama' berikutnya adalah yang terikat dengan lafazh qiro’ah seperti: haddatsana qiroatan 'alaihi (ia menyampaikan kepada kami melalui bacaan orang padanya). Namun yang umum menurut para ahli hadits adalah dengan mengunakan lafazh "akhbarani" saja tanpa tarnbahan yang lain.

3. Al-ijazah yaitu: seorang syaikh mengizinkan muridnya rneriwayatkan hadits atau riwayat, baik dengan ucapan atau tulisan.

Gambarannya seorang syaikh mengatakan kepada salah seorang muridnya: “aku izinkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku demikian ..”.

Di antara macam- macam ijazah adalah:

a. Syaikh mengijazahkan sesuatu yang tertentu kepada seorang yang tertentu. Misalnya dia berkata, "Aku ijazahkan kepadamu Shahih Bukhori." Di antara jenis-jenis ijazah, inilah yang paling tinggi derajatnya. Ini lazim disebut ijazah khusus.

b) Syaikh mengijazahkan orang yang tertentu dengan tanpa menentukan apa yang diijazahkan. Seperti, ”Aku ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan semua riwayatku”. Ini disebut ijazah ammah yakni umum untuk semua riwayat.

c) Syaikh mengijazahkan kepada siapa saja (tanpa menentukan) dengan juga tidak menentukan apa yang diijazahkan, seperti, ”Aku ijazahkan semua riwayatku kepada semua orang pada zamanku. ". Kadang ini juga disebut ijazah ammah yakni umum untuk setiap ahli zamannya yang menjumpai masa hidupnya.

d) Syaikh mengijazahkan kepada yang tidak diketahui atau majhul umpamanya dia berkata, "Aku ijazahkan kepadamu Kitab Sunan, sedangkan dia meriwayatkan sejumlah Kitab Sunan”, padahal ia meriwayatkan beberapa kitab Sunan. Atau mengatakan "Aku ijazahkan kepada Muhammad bin Khalid Ad-Dimasyqi”, sedangkan di situ terdapat sejumlah orang yang mernpunyai nama yang sama seperti itu.

e) Syaikh memberikan ijazah kepada orang yang tidak hadir demi mengikutkan rnereka dengan yang hadir dalam majlis, umpamanya dia berkata, "Aka ijazahkan riwayat ini kepada sifulan dan keturunannya.”.

Bentuk yang pertama dari beberapa bentuk di atas adalah yang diperbolehkan oleh jumhur ulama dan ditetapkan sebagai sesuatu yang diamalkan. Dan inilah pendapat yang benar. Sedangkan bentuk-bentuk lainnya masih diperselisihkan. Lafazh yang sering dipakai untuk riwayat yang diterima dengan cara ijazah adalah “Ajaza li fulan (beliau telah memberi ijazah kepada fulan), atau haddatsana ijazatan, akhbarana ijazatan dan anba’ana ijazatan.

Pada dasarnya tidak harus yang menerima ijazah adalah orang ‘alim, namun ijazah akan dipandang baik jika yang diberi ijazah adalah orang yang berilmu. Ijazah itu kemudahan yang mestinya diterima oleh orang yang berilmu karena mereka sangat memerlukannya. Ijazah juga lebih baik diberikan berkenaan dengan hadits tertentu dan dikenal serta tidak ada persoalan dalam isnadnya. Hal ini merupakan pendapatnya al-Hafizh Ibnu Abd al-Barr rahimahullahu.

Ijazah ini bisa secara lisan (mushafahah) atau tertulis (maktubah), bisa juga lewat perwakilan (yakni Syaikh mewakilkan seseorang agar memberi ijazah atas namanya), atau khabar dari orang tsiqah (yakni kabar dari seseorang bahwa syaikh fulan telah mengijazahimu kitab ini atau hadits ini). Ijazah bisa diberikan karena permintaan murid, permintaan orang lain kepada syaikh, bisa juga tanpa diminta siapa pun tapi diberikan syaikh semata-mata niat baik dari syaikhnya. Semua bentuk ijazah itu sah, dan nilainya sama saja, hanya saja seseorang mesti menjelaskan jika memang dibutuhkan.

Ketika ia meriwayatkan secara campuran, misal secara sama’i atau qira’ah untuk sebagian kitab dan selebihnya ijazah maka lafazhnya : “Menceritakan fulan secara sama’ untuk sebagiannya dan ijazah selebihnya”. Dan seterusnya dengan memperhatikan penukilan dan kejujuran. Memang ilmu ini menjunjung tinggi sikap jujur dalam menerima dan meriwayatkan, akan tercecer mereka yang tidak bersikap demikian.

4. Al-Munawalah atau menyerahkan.

Al-Munawalah ada 3 macam :

a) Munawalah yang disertai dengan ijazah dan disertai penyerahan kitab. Ini tingkatannya paling tinggi di antara macam-macam ijazah secara mutlak. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid, lalu mengatakan kepadanya: "Ini riwayatku dari fulan, maka riwayatkanlah dariku” Kemudian buku tersebut dibiarkan bersamanya untuk dimiliki atau dipinjamkan untuk disalin. Maka diperbolehkan meriwayatkan dengan seperti ini, dan tingkatannya lebih rendah dari as-sama' dan al-qira’ah.

b) Munawalah yang disertai dengan ijazah namun tidak disertai penyerahan kitab. Menurut sebagian ulama, ini tidak ada bedanya dengan ijazah, namun pendapat yang benar ia memiliki kelebihan dari ijazah, sebab ia dapat memperkuat khabar.

c) Munawalah yang tidak diiringi dengan ijazah. Seperti jika seorang syaikh mernberikan kitabnya kepada sang murid dengan hanya mengatakan: ”Ini adalah riwayatku.” Yang semacam ini tidak boleh diriwayatkan berdasarkan pendapat yang shahih.

Lafazh-lafazh yang dipakai dalam menyampaikan hadits atau riwayat yang diterima dengan jalan munawalah ini adalah si perawi berkata: ”Nawalani wa ajazani” atau ”nawalani” atau "haddatsana munawalatan wa ijazutan” atau akhbarana munawalatan".

5. Al-Kitabah atau berkirim surat

Seorang syaikh menulis sendiri atau bisa juga dia menyuruh orang lain menulis riwayatnya, kepada orang yang hadir ditempatnya atau yang tidak hadir disitu. Kitabah ini ada 2 jenis:

a) Kitabah yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan seorang syaikh, “Aku ijazahkan kepadamu, apa yang aku tulis untukmu”, atau yang semisal perkataan itu. Dan riwayat dengan cara ini adalah shahih, kedudukannya sama dengan munawalah yang disertai dengan ijazah.

b) Kitabah yang tidak disertai dengan ijazah, seperti syaikh menulis sebagian hadits untuk muridnya lalu ia dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi tidak ada izin untuk meriwayatkannya. Dalam masalah ini terdapat perselisihan hukum periwayatannya. Sebagian tidak membolehkan dan sebagian yang lain membolehkannya yakni jika diketahui bahwa tulisan tersebut adalah benar-benar karya syaikh itu sendiri.

6. Al-I'lam atau memberitahu

Yaitu seorang syaikh memberitahu muridnya bahwa hadits ini atau kitab ini adalah riwayatnya dari fulan, dengan tidak disertakan izin untuk meriwayatkan hal itu dari padanya. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum meriwayatkan dengan cara al-i'lam, sebagian membolehkan dan sebagian yang lain tidak membolehkannya.

Ketika menyampaikan riwayat dari cara ini, si perawi berkata “A'lamanisyaikhi” artinya “guruku telah memberitahu kepadaku”.

7. Al-Washiyyah atau mewasiatkan

Seorang syaikh mewasiatkan di saat mendekati ajalnya, atau ketika dalam perjalanan, sebuah kitab atau hadits yang ia wasiatkan kepada sang perawi. Riwayat yang seorang terima dengan jalan wasiat ini boleh dipakai menurut sebagian ulama, namun yang shahih adalah tidak boleh dipakai. Jika menyampaikan riwayat dengan cara wasiat perawi mengatakan, ”Ausha ilayya fulanun bi kitabin” (si fulan mewasiatkan kepadaku sebuah kitab), atau ”Haddatsani fulanun washiyyatan" (telah bercerita kepadaku si fulan dengan sebuah Wasiat).

8. Al-Wijadah atau mendapati

Yaitu seorang perawi mendapati hadits atau kitab dengan tulisan seorang syaikh, dan ia mengenal syaikh itu atau mengenal tulisan syaikh itu, sedangkan hadits-haditsnya tidak pernah ia didengarkan ataupun ditulis oleh si perawi.

Wijadah ini termasuk dalam jenis hadits munqathi (terputus sanadnya), karena si perawi tidak menerima sendiri dari orang yang menulisnya. Dalam menyampaikan hadits atau kitab yang didapati dengan jalan wijadah, si perawi berkata, "wajadtu bi khaththi fulanin" (aku dapatkan buku ini dengan tulisan fulan), atau "Qara'tu bi khati fulanin” (aku telah membaca buku ini dengan tulisan fulan), kemudian menyebutkan sanad dan matannya. [red].

--------------------------------------------------------------------

Disarikan dari Kitab Syaikh Manna al-Qaththan berjudul “Mabahats fi Ulumul Hadits” hal. 165 – 168 dan dari Kitab Syaikh Dr. Nuruddin ‘Itr berjudul “Manhaj an-Naqd fi Ulumul Hadits” hal. 214-222, dan lainnya.

Leave a Reply

Mohon berkomentar dengan santun

Labels