Kamis, 27 November 2014

Apa Faidah Ijazah Hadits ?

0 komentar

Jawab [1] :

Dalam masalah ijazah, telah jelas dan diketahui bersama oleh kalangan ahli hadits secara khusus dan oleh kalangan ahli ilmu secara umum, tentang banyaknya faidah dan keutamaannya. Di antara faidah yang sangat besar itu, yaitu :

Pertama, dalam pemberian ijazah terdapat kesempurnaan membawa hadits bagi seorang muhaddits serta pengakuan keotentikannya.

Berkata Abu Bakar Ibnu Khair Al-Isybily di mukaddimah kitab “Fihrisit”nya halaman 15-16 ,”Ketahuilah oleh kalian semua rahimakumulloh bahwa ijazah adalah perkara yang mendesak dalam periwayatan yang dengannya sesuatu menjadi sempurna, jika tidak maka dia adalah sesuatu yang kurang, dan kekurangannya itu suatu kemestian. Telah mengkabarkan kepada kami Abu Muhammad Ibnu ‘Itaab dari bapaknya Abu Abdillah dan beliau termasuk orang yang perhatian, hati-hati dan begitu teliti dalam periwayatan, beliau berucap, “Tidak mencukupi bagi para penuntut hadits tanpa ijazah, untuk apa-apa yang telah dia dengar dari seorang muhaddits, atau apa yang telah ia perlihatkan kepadanya, atau apa yang ia telah mendengarnya dari orang yang memperlihatkannya kepadanya, sebab bisa saja ada terdapat kelupaan, kantuk, tertinggal, tertukar dan terganti dengan yang lain yang dilakukan oleh keduanya atau salah seorang dari mereka berdua. Maka jika seorang muhaddits: dia yang membacakannya dengan lafadznya sendiri, bisa jadi datang lupa pada pihak yang mendengarnya, hilang apa yang telah dibacakan itu, atau jika yang lain yang membacakannya maka bisa jadi menimpa kelupaan itu kepada yang membacakannya kepadanya. Namun, jika digabungkan antara ijazah dengan pendengaran atau penyerahan hadits tadi, maka sebuah ijazah bisa menambal apa yang terjadi dari berbagai bencana tersebut”. Demikian nukilan dari Syaikh secara makna.

Kedua, Menginginkan segeranya sebuah periwayatan di kala keadaan mendesak.

Ketiga, Memperbanyak periwayatan sehingga hadits-hadits Nabi Shollalahu alaihi wasallam tidak menjadi asing dengan sebab melimpahnya para periwayatnya.

Ibnu Khair Al-Isybiily menyebutkan di halaman 16-17, “Dan ketahuilah oleh kalian semua waffaqakumulloh bahwa dalam ijazah ada dua faidah : salah satunya untuk menyegerakan periwayatan ketika keadaan mendesak, dan faidah yang kedua memperbanyak apa yang diriwayatkan sehingga periwayatan hadits Nabi shollallahu alaihi wasallam menjadi melimpah jauh dari keterasingan selain dari lepasnya kesulitan menghikayatkan ucapan beliau tanpa adanya periwayatan. Sungguh aku telah mendengar para Khatib di mimbar-mimbar, dan manusia-manusia tertentu di panggung dan majlis-majlis mereka, menyebutkan ucapan-ucapan Rasulullah padahal mereka tidak mempunyai periwayatan tentang hal itu. Para Ulama rahimahulloh telah bersepakat bahwa tidak dibolehkan seorang muslim berucap : “Rasulullah shollallahu alaihi wasallam telah bersabda seperti ini” hingga dia memang mempunyai riwayat apa yang dikatakannya itu, walaupun dari jalan periwayatan yang jarang digunakan, karena Nabi Shollalahu alaihi wasallam berucap, “Barangsiapa berdusta terhadapku dengan sengaja maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya di neraka”, dan dalam sebagian riwayat ,” Barangsiapa berdusta terhadapku” dengan lafadz mutlak tanpa tambahan “dengan sengaja”. Selesai.

Adapun apa yang diceritakan oleh Ibnu Khair Al-Isybily tentang ijma’ tidak bolehnya seseorang berucap : “Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda” sampai dia memang memiliki apa yang dia sebut sebagai ucapan Nabi shollalahu alaihi wasallam itu secara riwayat”, ucapan tersebut tidak hanya ucapannya sendiri tapi juga di ceritakan bahwa Hafidz Al-‘Iraqi juga berucap, “Menukil ucapan seseorang yang dia tak memiliki riwayatnya akan hal tersebut, tidak dibolehkan secara ijma para ahli dirayah.” Selesai.

Adalah Al-‘Allamah Abdul Hayy Al-Kattany mempunyai risalah yang namanya Raf’u Adh-dhair ‘An Ijma’I Al-Hafidz Ibnu Khair”, di sana beliau jelaskan panjang lebar apa yang mendukung serta apa-apa yang berseberangan tentang hal itu. Wallohu a’lam

Keempat , di antara faidah ijazah : tidak bisa kita bayangkan bersambungnya (mata rantai periwayatan) semua karya tulis baik yang besar ataupun kecil hingga sampai ke tangan kita secara langsung dengan cara mendengar (sama’i) hingga ke penyusunnya dengan berlalunya masa, tapi jika melalui ijazah, maka mata rantai periwayatan bisa kekal tersambung.

Al-Hafidz Abu Thohiir as-Silafy di Kitab al-Wajiz halaman 54-55 berucap, “Dan tak terbayangkan keberadaan seluruh karya tulis yang disusun secara besar serta karya tulis yang kecil dengan cara sama’ (mendengar langsung) serta bersambung sedangkan masa yang terpisah jauh, dan tidak terputus hubungannya dengan sebab kematian perawi, atau lenyapnya para hafidz yang brilian, maka dalam hal ini sangat diperlukan sesuatu yang bisa menyebabkan kesinambungan karya-karya tulis itu, melanjutkan eksistensinya sehingga setelah itu terlaksana tak ada hal yang bisa melenyapkannya. Jalan untuk itu adalah meriwayatkan dengan ijazah, yang di dalamnya terdapat manfaat yang agung dan suatu karunia berharga; sebab tujuan itu semua mengokohkan sunnah-sunnah yang diriwayatkan dalam berbagai ketentuan hukum syar’i (ahkam syar’iyyah), menghidupkan berbagai atsar dengan cara sebaik-baiknya pemberian, sama saja apakah dengan cara sama’ , atau qira’at, munawalah dan juga secara ijazah.” Selesai.

Kelima, Tidaklah semua penuntut ilmu itu mampu melakukan perjalanan jauh dan berkelana (rihlah). Atau jika ada yang mampu kesebuah negeri dia tak mampu ke negeri lain, maka ijazah dalam hal ini dapat memudahkannya.

Berkata Hafidz Abu Thohir As-Silafy di kitab Al-Wajiz halaman 57 : “Di antara manfaat ijazah pula : bahwa tidak semua penuntut dan pengejar ilmu yang bersemangat mampu melakukan perjalanan dan berkelana terutama jika dikaitkan dengan masalah kesusahan dan penyakit, atau Syaikh yang dia ingin datangi berada ditempat yang jauh sehingga untuk sampai kesana akan dijumpai banyak kesukaran. Maka sebuah tulisan ketika itu adalah hal yang sangat mudah, dan lebih sesuai untuk keadaan orang tersebut, serta bisa di bilang hal ini lah yang paling sesuai dan yang paling utama baginya. Sehingga tulisan orang yang ada di ujung barat bisa sampai ke ujung timur dengan dia memberikan izin meriwayatkan apa yang memang bebar-benar berasal dari dirinya, dari riwayat haditsnya hingga jadilah apa yang dia riwayatkan adalah hujjah sebagaimana Rasulullah Shollallahu alaihi wasallam telah melakukan sendiri hal ini.

Telah shohih riwayat dari Nabi Shollallahu alaihi wasallam bahwa beliau telah menulis surat buat Kisra dan Kaisar dan selain keduanya beserta para utusannya, maka barangsiapa menghadap kepada mereka serta menerima yang mereka bawa, maka itu adalah hujjah baginya. Adapun yang tidak menerima dan tidak mengamalkannya maka hujjah itu akan berbalik kepadanya”. Selesai.

 


[1] Di terjemah dari Kitab Hadii as-Saary Ila Asanidi asy-Syaikh Ismail al-Anshory hal. 34-38, diterjemahkan oleh Ust.Habibi Ihsan.

Leave a Reply

Mohon berkomentar dengan santun

Labels