Selasa, 02 Desember 2014

Ulama Dakwah Dari Najd Dan Sanad Periwayatan Mereka

0 komentar

 

Di usia yang masih 13 tahun, tepatnya pada tahun 1127 H, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab muda memenuhi panggilan ibadah haji dan menziarahi Mekkah kurang lebih dua bulan lamanya. Selama bulan-bulan tersebut, Syaikh Abdullah bin Salim al-Bashri (w. 1134 H), seorang musnid besar dan rujukan para ulama di zamannya, masih hidup dan mengajar di Mekkah, al-Bashri sendiri wafat pada tahun 1134 H, yaitu 7 tahun pasca kunjungan Syaikh Muhammad. Melihat semangatnya dalam belajar kepada ulama, sangat sulit dibayangkan kalau Syaikh Muhammad melepaskan kesempatan belajar kepada al-Bashri ini. Jadi apa yang dinukil tentang sebuah sanad kitab (no. 836) oleh Syaikh Muhammad ‘Abid as-Sindi dalam Tsabatnya yang masyhur Hasr al-Sharid min Asanid Muhammad ‘Abid, yang dia riwayatkan dari Syaikh Abdullah bin Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dari Bapaknya dari Abdullah bin Salim al-Bashri, kemungkinan benar adanya. Di antara yang menguatkan pendapat ini adalah Syaikh al-Musnid Muhammad Ismail al-Anshori, Syaikh al-Mu’arikh Dr. Shalih al-‘Ubud dan lainnya.

Periwayatan Syaikh Muhammad dari Syaikh al-Bashri selama ini mengandung kontroversi, banyak ulama beranggapan kalau beliau tidak meriwayatkan secara langsung dari al-Bashri, melainkan diperantarai oleh murid-murid senior al-Bashri seperti Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi, Syaikh Ismail al-Ajluni, dan lainnya. Di antara yang menganggap kabar itu tidak shahih adalah Al-Allamah Abdul Hayy al-Kattani rahimahullahu dalam Fihrisnya (1/364), karena keduanya (Ibn Abdil Wahab dan al-Bashri) diduga tidak pernah saling bertemu, Syaikh al-Bashri tinggal di Mekkah sedangkan Ibnu Abdul Wahab di Najd. Dikatakan Syaikh Muhammad baru datang ke Mekkah setelah wafatnya al-Bashri.

Namun pernyataan al-Allamah al-Kattani rahimahullahu itu bisa dibantah dengan beberapa alasan:

Pertama, nukilan Syaikh as-Sindi ini dipandang kuat dibandingkan anggapan-anggapan orang setelahnya, karena beliau masih dekat zamannya, bahkan meriwayatkan sanad tersebut dari putra Syaikh Muhammad langsung yang bernama Syaikh Abdullah, yang meriwayatkannya dari Ayahnya. Biasanya, seorang anak sekaligus juga murid, lebih mengetahui sanad ayahnya daripada selainnya. Syaikh al-Fadani menyebut Syaikh Abdullah dengan sebutan: “Syaikh al-Faqih Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi yang meninggal tahun 1242 H, meriwayatkan dari Bapaknya al-Allamah Syaikhul Islam, al-Mujadid Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman at-Tamimi an-Najdi meninggal tahun 1206 H, untuk semua karangannya mulai dari hadits, fiqh, tauhid, dan lain-lain” (al-Maslak al-Jali hal. 48).

Kedua, anggapan kemungkinan tidak pernah bertemunya Syaikh Muhammad dengan al-Bashri mendapat bantahan dari sejumlah ulama ahli sejarah, di antaranya Syaikh Dr. Shalih al-‘Ubud dalam kitabnya Aqidah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab Salafiyyah fi al-Ilm al-Islami (hal 90-92). Syaikh Shalih menyebutkan kemungkinan bertemunya kedua syaikh ini karena ada fakta bahwa di umurnya yang ke-13, yaitu tahun 1127 H, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab pergi haji dan menziarahi Mekkah selama kurang lebih dua bulan. Selama tahun-tahun tersebut, Syaikh al-Bashri masih hidup dan mengajar. Dengan demikian masih ada kemungkinan keduanya bertemu, dan sangat mungkin Syaikh ibnu Abdil Wahab mengikuti pelajaran-pelajarannya dan meriwayatkan darinya. Usia 13, usia yang cukup sebagai syarat mendapatkan ijazah dari seorang syaikh.

Sebagai tambahan, banyak ulama yang menggunakan riwayat ini, di antaranya al-Fadani dan gurunya, Syaikh Umar Hamdan al-Mahrasi. Artinya sanad tersebut wujud dalam naskah Hasr al-Sharid milik mereka, untuk menepis anggapan penyebutan riwayat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dari Syaikh Abdullah al-Bashri dalam Tsabat Syaikh Muhammad Abid as-Sindi salah tulis atau salah catat dalam sebagian naskah. Syaikh Muhammad Yasin al-Fadani dan gurunya, Syaikh Umar Hamdan al-Mahrasi, dalam Ithaful Ikhwan (hal. 76), berkata: “(Syaikh Muhammad Abid As-Sindi meriwayatkan) dari Syaikh Abdullah bin Muhammad an-Najdi dari Bapaknya, Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi, dengan riwayatnya dari al-Bashri”. Yakni beliau memakai riwayat ini, sedangkan beliau sebagaimana kata Syaikh Hammad bin Muhammad al-Anshori rahimahullahu, “Sesungguhnya al-Fadani, penjaga ilmu isnad, dan aku tidak mengetahui seorang pun yang lebih ‘alim darinya dalam ilmu ini”.[1].

Jika benar hal ini shahih, maka riwayat Syaikh Muhammad dari al-Bashri menjadi sebuah sanad yang sangat aaliy [2], dibandingkan ulama-ulama sezamannya. Bahkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab (w. 1207 H) menjadi murid terakhir yang meriwayatkan dari Syaikh Abdullah al-Bashri. Selama ini yang disebut-sebut sebagai murid terakhir al-Bashri adalah Syaikh Muhammad bin Abdullah al-Maghribi yang meninggal tahun 1201 H.

Syaikh Abdullah al-Bashri lengkapnya adalah Abdullah bin Salim bin Muhammad bin Salim bin Isa al-Bashri, musnid Hijaz, dan penghulu para muhaqiq. Meriwayatkan dari Musnid di zamannya seperti al-Allamah MuhammadNew Picture (10) ‘Alauddin al-Babili, al-Allamah Ibrahim bin Hasan al-Kurdi al-Kurani dan lainnya dengan sanad muntasil kepada para pemilik kitab sebagaimana dalam Tsabatnya al-Imdad. Tsabat ini telah dicetak dengan 224 halaman berukuran sedang oleh Penerbit Dar at-Tauhid Riyadh.

Kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, melalui jalan al-Bashri ini sanad Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab hanya terpaut 6 perowi saja, sedangkan kepada murid-murid beliau seperti al-Hafizh al-Mizzi, adz-Dzahabi, Ibnu Qayyim, dan lainnya terpaut 5 perowi. Namun yang paling istimewa, adalah fakta bahwa sanad yang wujud sekarang ini dari kita kepada Syaikh Ibnu Abdil Wahab lebih sedikit dibanding kebanyakan sanad lain kepada al-Bashri yakni melalui 5 perowi saja. Ini akan kita kupas di depan.

 

Musalsal Hanabilah Najd

Dikalangan ahli riwayat, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab sangat dihormati. Bahkan musnid dunia, Syaikh Muhammad Yasin al-Fadani rahimahullahu, menjuluki Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullahu: ”Syaikhul Islam, al-Imam, al-Mujadid” (lihat Majalah Riwayah Edisi 2). Begitu pula Syaikh al-Musnid Ismail Muhammad al-Anshari rahimahullahu dalam kitabnya, Hayat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab (hal 119) menyebut beliau: Syaikhul Islam dan pembaharu (al-Mujadid) abad 12 H. Sedangkan Syaikh al-Musnid Hammad bin Muhammad al-Anshori rahimahullahu mengatakan, “Muhammad bin Abdul Wahab diakui sebagai Mujadid Tauhid di abad pertengahan” (al-Majmu 2/746). Semua pujian itu tidak diragukan lagi disebabkan pengetahuan mereka akan kedudukan tinggi beliau dalam berbagai keilmuan dan jasa-jasanya.

Syaikh Muhammad lahir dalam keluarga ulama di Najd. Beliau belajar berbagai macam ilmu kepada Bapaknya, al-Qadhi Syaikh Abdul Wahab bin Sulaiman seorang Mufti Najd pada zamannya (wafat tahun 1153 H). Dari ayahnya ini, beliau meriwayatkan fiqh Imam Ahmad, dari jalan kakeknya, Syaikh Sulaiman bin Ali (juga Mufti Najd) yang tersambung sampai Imam Ahmad bin Hanbal. Jadi menurut silsilah fiqhiyah, Syaikh termasuk dalam silsilah ulama Hanabilah.

Disamping belajar kepada ayahnya, Syaikh Muhammad juga belajar kepada pamannya, al-Qadhi Syaikh Ibrahim bin Sulaiman (w. 1141 H), yang juga ulama Najd di masanya. Syaikh Ibrahim juga sama dengan ayahnya, meriwayatkan fiqh Imam Ahmad dari jalan Bapaknya Syaikh Sulaiman.

Doc3-page-001 Tidak cukup dengan belajar kepada Ayah dan Pamannya, Syaikh Muhammad muda pun melakukan rihlah mencari ilmu ke berbagai daerah seperti Bashrah, Hijaz, Ahsa, Irak dan lainnya, menjumpai sejumlah ulama dan belajar dari mereka. Dan petualangan rihlahnya tersebut sangat memengaruhi jiwa Syaikh Muhammad, Sebagaimana diceritakan dalam biografinya. Mungkin di sini benarnya perkataan Imam Yahya bin Ma’in rahimahullahu yang dinukil Al-Hafizh Khathib Al-Baghdady dengan sanadnya dalam Ar-Rihlah Fi Thalabil Hadits bahwa seseorang tidak bisa menjadi cerdas hanya dengan duduk belajar di negerinya tanpa berkelana menuntut ilmu ke negeri lain. Artinya sebuah rihlah ilmiyah memiliki efek positif terhadap pelakunya termasuk para penuntut ilmu. Paling tidak sebagaimana dikatakan Imam Ibn Ma’in rahimahullahu diatas.

Di kota Madinah, ada dua guru yang Syaikh Muhammad lama belajar kepada mereka. Hal itu sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Abu Bakar bin Muhammad Arif Khuwaqir al-Hanbali (w. 1349 H) dalam Tsabatnya (hal 31-32): “Adapun Syaikh Abdurrahman (bin Hasan alu Syaikh) meriwayatkan dari Kakeknya (Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab) yang mana beliau meriwayatkan dari dua ulama Madinah al-Munawaroh: (pertama) Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi dan (kedua) Syaikh Abdullah bin Ibrahim al-Faradhi al-Hanbali ..”.

Syaikh al-Muhadits Muhammad Hayat as-Sindi (w. 1163 H) memiliki nama lengkap Muhammad Hayat bin Ibrahim as-Sindi al-Madani. Muhadits Hijaz dan rujukan ulama dizamannya. Meriwayatkan dari sejumlah ulama zamannya, seperti:

1. Abu Hasan Muhammad bin Abdul Hadi as-Sindi al-Kabir (w. 1138 H), penulis catatan kaki (Hawasyi) Kutubusittah dan Musnad Ahmad.

2. Abdullah bin Salim al-Bashri (w. 1134 H), telah berlalu tentangnya.

3. Muhammad Abu Thahir bin Ibrahim al-Kurani (w. 1145 H), anak dari Syaikh Ibrahim bin Hasan al-Kurani (pemilik kitab Tsabat terkenal Al-Umam li Iqazh Al-Himam). Guru dari Syah Waliyullah ad-Dihlawi, musnid India pada zamannya.

4. Hasan bin Ali al-Ujaimi (w. 1113) dan selainnya. [3]

Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi termasuk guru dari al-Allamah Abdul Qadir bin Ahmad al-Kaukabani (w. 1207 H), salah satu guru dari Imam asy-Syaukani. Dan termasuk guru al-Allamah Muhammad Sa’id bin Ahmad as-Suwaidi al-Baghdadi (w. 1246 H), guru dari guru al-Allamah Irak, Mahmud al-Alusi, ahli tafsir masyhur.

Adapun Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif an-Najdi al-Madini al-Hanbali, (w.1140 H) adalah di antara guru Syaikh Muhammad yang ia paling banyak membaca kepadanya. Beliau adalah seorang ulama hanbali di Madinah, murid Musnid Hanbali Syam Syaikh Abu Muwahib Abdul Baqi al-Hanbali. Darinya Syaikh Muhammad meriwayatkan musalsal bil awwaliyah dan musalsal Hanabilah, juga membaca sejumlah besar kitab hadits, dan mengijazahinya ijazah ammah dari apa-apa yang ada dalam Tsabat Abu Muwahib. Sanad kedua musalsal itu disebutkan oleh Ibnu Ghanam dalam kitabnya, Tarikh Najd, dan dikutip oleh Syaikh Ismail al-Anshari dalam Hayat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab pada hal. 124-125. Musalsal bil Awwaliyah adalah hadits yang berbunyi,

" الراحمون يرحمهم الرحمن تبارك وتعالى أرحموا من في الأرض يرحمكم من في السماء “.

Sedangkan syarat hadits musalsal ini adalah hadits pertama yang didengar oleh tiap perowinya dari gurunya. Adapun Musalsal al-Hanabilah adalah hadits yang berbunyi,

عن أنس بن مالك قال : قال (إذا أراد الله بعبده خيراً استعمله) قالوا : كيف يستعمله ، قال : " يوفقه لعمل صالح قبل موته"

Syarat musalsal al-Hanabilah, semua perowinya bermazhab Hanbali.

Pada sanad yang terakhir ini, antara beliau dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terdapat 11 rowi, dan kepada Imam Ahmad terpaut 14 rowi, dan kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dengan 17 rowi. Memang sanad ini lebih panjang dari sanad sebelumnya, tapi sanad ini istimewa karena semua perowinya adalah ulama hanbaliyah atau disebut musalsal ulama Hanbali. Dicatat sebagian sanadnya oleh Syaikh Abu Bakar bin Muhammad Arif Khuwaqir al-Hanbali (w. 1349 H) diakhir Tsabatnya.

Disamping kepada kedua orang di atas, Syaikh Muhammad juga berguru kepada sejumlah murid Syaikh Abu Muwahib lainnya seperti: Syaikh Ismail al-Ajluni (w. 1162 H), yang merupakan penulis awail masyhur, awail beliau masih sering dibacakan sampai sekarang dan juga penulis kitab Kasyfal Khafa'. Beliau adalah Ismail bin Muhammad bin Abdul Hadi bin Abdul Ghani al-Ajluni. Meriwayatkan dari sejumlah ulama selain Abu Muwahib al-Hanbali (w. 1126 H), seperti Abdul Ghani bin Ismail an-Nablusi (w. 1143 H), Abdullah bin Salim al-Bashri (w. 1134 H), Muhammad bin Ali al-Kamali (w. 1131 H) dan lainnya.

Dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab bertemu juga dengan Syaikh Ali Afandi ad-Dagistani (w. 1199 H) dan Syaikh Abdul Latif al-Ahsa'I (w. 1163 H), yang keduanya meriwayatkan juga dari Syaikh Abu Muwahib al-Hanbali, dan keduanya memberi Syaikh Muhammad ijazah bagi Tsabat guru mereka, seperti halnya ijazah Syaikh Abdullah bin Ibrahim.

Jadi, bagi Syaikh Muhammad, riwayat hadits musalsal Hanabilah dari tidak kurang 4 gurunya dari Syaikh Abu Muwahib dengan sanad musalsalnya ma’ruf sampai Imam Ahmad, sementara meriwayatkan fiqh Hanbali dari Ayahnya dari Kakeknya sampai juga kepada Imam Ahmad.

Sanad Musalsal Keluarga Muhammad bin Abdul Wahab

Diantara sesuatu yang menunjukan kepada kita akan kesungguhan keluarga Muhammad bin Abdul Wahab dan keturunannya dalam memelihara sanad periwayatan, adalah masih wujudnya sanad mereka dengan musalsal keluarga Muhammad bin Abdul Wahab tanpa terputus. Pada silsilah sanad ini, semua perowinya berasal dari keluarga dan anak turun Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab (perhatikan bagan). Yang mirip dengan silsilah ini, seperti musalsal keluarga Ibnu ‘Abidin[4], atau keluarga al-Ahdal[5] dan lainnya.

New Picture (11) Diantara yang paling tinggi sanadnya dalam musalsal ini adalah guru kami, Syaikh al-Mu’ammar Muhammad bin Abdurrahman alu Syaikh (lahir 1330 H) hafizhahullahu, keturunan kelima dari Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Sanad ini istimewa, karena ke musalsalannya walaupun lebih nazil dari sanad lain yang dimiliki oleh Syaikh kami tersebut. Bagi Syaikh kami Muhammad bin Abdurrrahman alu Syaikh, ada sanad yang lebih pendek daripada musalsal ini, yaitu melalui Syaikh Hammad bin Faris yang langsung meriwayatkan dari Syaikh Abdurrahman bin Hasan alu Syaikh.

Syaikhuna Muhammad bin Abdurrahman meriwayatkan dari Syaikh Muhammad bin Abdul Latif berbagai kitab dengan membaca kepadanya seperti Aqidah ath-Thahawiyah, Kitab-Kitab karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dan lain-lain, serta ijazah ammah bagi melengkapi semua periwayatannya. Syaikh Muhammad bin Abdul Latif meriwayatkan semua itu dari Bapaknya dari Bapaknya dari Kakeknya.

Memang, Ulama-ulama Najd “Wahabiyyah” dan “Alu Syaikh” termasuk diantara yang berkhidmat kepada ilmu yang mulia ini, para penjaga sanad dan bahkan termasuk ahlinya. Oleh sebab itu ditiap thabaqah tidak henti-henti kita menemukan ulama besar yang faqih dan musnid yang sebagian mereka tersambung kepada sebagian yang lain. Syaikh kami dan Mujiz kami al-Musnid as-Salafi Badr bin Ali bin Thami al-‘Utaibi hafizahullahu, yang juga seorang peneliti dan dikenal ahli dibidang ini, menegaskan hal itu, beliau berkata: “Imam Muhammad bin Abdul Wahab, dan anaknya Abdullah, dan cucunya Abdurrahman bin Hasan, dan dua anaknya Abdul Latif bin Abdurrahman bin Hasan dan Ishaq bin Abdurrahman bin Hasan, juga Abdullah bin Abdurrahman Aba Bathin, dan Hamad bin ‘Atiq, dan Sa’ad bin Hamad bin Atiq, dan Muhammad bin Abdul Latif dan Ali bin Nashr Abu Wadi dan jamaah dari ulama Najd, semuanya ahli dalam periwayatan, menerima dan menyampaikan hadits (tahammul wa adau’al hadits)”.[6]

Dan sanad musalsal semacam ini tidak hanya pada jalur diatas saja, juga banyak jalur yang lainnya, namun musalsal lewat arah ini lebih ‘aliy sekarang ini daripada yang lainnya.

Periwayatan Kitab-Kitab Dengan Musalsal Sama’i

Diantara hal lain dari fakta yang menunjukan begitu perhatiannya mereka dalam ilmu periwayatan, adalah masih tetapnya periwayatan lewat sama’i kitab-kitab karya Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab, dan ulama-ulama dakwah Najd lainnya sampai sekarang, melalui berbagai jalur. Ini juga menunjukan begitu terasa manfaatnya ditiap zamannya kitab-kitab imam-imam dakwah itu sehingga umat Islam setelahnya tidak henti-hentinya membaca dan meriwayatkan kitab-kitab ulama Najd itu, baik secara sama’, qira’at, ijazah khusus atau umum, sedangkan sekarang telah berlalu beberapa abad lamanya.

Musalsal secara sama’i maksudnya tiap thabaqah meriwayatkan kitab tersebut dengan cara dibacakan kepadanya, atau membaca kepada gurunya secara sempurna maupun sebagiannya. Sangat jarang kitab-kitab dapat diriwayatkan secara sama’i dengan tidak terputus ditiap thabaqah kecuali beberapa kitab saja. Ada yang dibaca awalnya saja lalu sisanya ijazah, ada juga yang dibaca awal dan akhirnya saja lalu sisanya ijazah, ada yang matan-matan pilihannya saja lalu sisanya ijazah dan seterusnya, jarang yang dibaca dari awal sampai akhir tanpa tertinggal satu huruf pun yang terus dengan cara itu dalam tiap thabaqah, oleh sebab itu membaca sebagian dan ijazah untuk sisanya masih disebut musalsal sama’i wallahu’allam.

Seperti Kitab at-Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, kitab yang fenomenal membongkar berbagai kesyirikan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Kitab ini terus diriwayatkan melalui sama’ atau qira’at atau ijazah secara tersambung kepada penulis kitab. Syaikhuna al-Musnid Dr. Abdullah bin Shalih Ubaid hafizahullahu dalam Kitabnya (Al-Imta’ hal 136 – 137) menyebutkan kalau beliau meriwayatkan dengan qira’at kepada Syaikh Abdul Aziz bin Marsyad yang meriwayatkannya secara qira’at kepada Syaikh Sa’ad bin Atiq yang membacakannya kepada Syaikh Ahmad bin Ibrahim bin Isa yang membacakannya kepada Syaikh Abdurrahman bin Hasan. Dan Syaikh Abdurrahman membacakannya kepada penulisnya Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab, yakni musalsal dengan sama’i. Namun Syaikh Abdurrahman membacakannya kepada Kakeknya hanya sampai bab tentang sihir, adapun sisanya dengan ijazah, dengan sedikit keraguan akan ijazahnya oleh sebagian ulama.

Syaikh Abdullah Ubaid juga memiliki jalan lain, melalui pembacaannya kepada Syaikh Abdul Qadir Karamullah al-Bukhori al-Hanafi yang membacakannya kepada Syaikh Umar Hamdan al-Mahrasi, yang membacakannya kepada Syaikh al-Makki bin ‘Azzuz yang meriwayatkannya dari Syaikh Ahmad bin Ibrahim bin Isa dan seterusnya. Syaikh Muhammad Yasin al-Fadani pun membacanya kepada Syaikh Umar Hamdan secara keseluruhannya seperti disebut-sebut dalam Bulughul Amani.

Syaikhuna Badr bin Thami al-Uthabi hafizahullahu menyebutkan dalam ijazahnya untuk kitab Tauhid bahwa beliau meriwayatkan secara qira’at kepada Syaikh Ibrahim bin Rasyid al-Hudaitsi yang meriwayatkan dari kakeknya dari pihak ibu Syaikh Rumaih ar-Rumaih yang meriwayatkan secara qira’at juga dari Syaikh Abdurrahman bin Hasan alu Syaikh.

Sementara Syaikh Abdul Aziz al-Zahrani dalam Tsabatnya yang disusun oleh Muridnya “al-Iqd an-Nurini bi Asanid Syaikh Abdul Aziz az-Zahrani” mengatakan kalau beliau membaca kepada Syaikh Sulaiman bin Hamdan kitab-kitab dalam bidang tauhid diantaranya Kitab at-Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, bahkan beliau membacanya sebanyak delapan kali. Lalu disebutkan disana sanad-sanadnya. Dalam ilmu hadits, seringnya seseorang murid membaca atau menyema’ sebuah kitab dihadapan guru lebih tinggi nilainya daripada yang lebih sedikit membacanya. Ini tentu nilai tersendiri bagi Syaikh al-Zahrani.

Demikian juga untuk kitab-kitab Syaikhul Islam yang lain seperti Qawaidul Arba, Masail Jahiliyah, Ushul Tsalatsah dan lain-lain. Itu semua menunjukan ketidakbenaran dugaan sebagian orang kalau para ulama dakwah salafiyah adalah ulama yang tidak bersanad. Ini dugaan keliru dan anggapan yang tidak berdasar, semoga Allah Ta’ala memberi petunjuk.

Musnid-Musnid Najd Saat Ini

Ulama yang ‘aliy (tinggi) sanadnya, mu’ammar (panjang umurnya), dan masih hidup sampai buku ini ditulis, dari kalangan ulama Najd dan juga keturunan dari Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab adalah Syaikh kami Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq alu Syaikh hafizhahullahu (lahir 1330 H). dikatakan ‘aliy, sebabnya beliau meriwayatkan secara langsung dari setidaknya dua masyaikh yang orang lain meriwayatkan melalui perantaraan satu perowi :

New Picture (12)

Syaikh Muhammad bin Abdurrahman alu-Syaikh

Pertama, Beliau meriwayatkan secara langsung kepada Syaikh Hamad bin Faris (w. 1345 H) melalui as-sama’, al-ardh dan ijazah. Beliau membaca kepadanya Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, sebagaimana beliau mendengar darinya kitab-kitab fiqh, nahwu, dan mendengar darinya musalsal bil Awwaliyah dan Musalsal Hanabilah, kemudian diberi ijazah ammah. Musalsal Hanabilah adalah hadits yang diriwayatkan secara bersambung sampai sekarang, sedangkan semua perowinya bermazhab Hanbali yang terus tersambung sanadnya sampai Imam Ahmad. Pada sanad syaikh Hamad melalui Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab al-Hanbali dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah al-Hanbali.[7]

Syaikh Hammad bin Faris ini secara aliy meriwayatkan dari Syaikh Abdurrahman bin Hasan alu Syaikh cucu dari Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab yang meriwayatkan dari kakeknya secara qira’at dan ijazah. Memang -seperti telah kami singgung sebelumnya- terdapat perbincangan soal keshahihan ijazah cucu dari kekeknya ini, namun banyak ulama muhaqiq dan lebih dekat kepada pemilik riwayat membenarkan riwayat ini, seperti dalam nash ijazah seorang ulama Najd al-Allamah al-Muhadits Sa’ad bin Hamd bin Atiq an-Najdi rahimahullahu (w. 1349 H) dalam Ijazahnya untuk salah satu keturunan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullahu yaitu al-Allamah Muhammad bin Abdul Latif Alu Syaikh rahimahullahu (w. 1367 H) mengatakan : “Adapun saya, mengambil riwayat dari guru kami Ahmad bin Ibrahim bin Isa rahimahullahu, dan beliau mengambil riwayat dari Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullahu. Beliau mengambil riwayat dari jamaah ahli ilmu dan para pemilik keutamaan[8], diantaranya: kakeknya Al-Allamah Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab, dan sanad beliau –yakni Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab- ma’ruf.”.[9] Begitu juga Masyaikh lain yang secara jelas menyebutkan periwayatan Syaikh Abdurahman dari Kakeknya melalui ijazah ammah, dalam teks ijazah-ijazah mereka. Diantaranya : Syaikh Sa’ad bin Atiq, Syaikh Muhadits Muhammad Badi’uddin ar-Rasyidi, Syaikh Hamud at-Tuwaijiri, Syaikh Sulaiman bin Hamdan, Syaikh Abu Bakar Arif Khuwaqir dan juga dalam ijazah dari Guru Kami Syaikh Prof. Dr. Ashim al-Quryuthi hafizahullahu, walahu’allam.

Kedua, beliau meriwayatkan dari Syaikh Muhadits al-Faqih Sa’ad bin Hamad bin Atiq (w. 1349 H)[10]. Menurut syaratnya Syaikh mendengar Musalsal bil Awwaliyah dari Syaikh Sa’ad. Musalsal ini memiliki syarat musalsal, yaitu jika hadits ini adalah hadits yang pertama kali didengar dari gurunya. Dan Syaikh Muhammad bin Abdurrahman alu Syaikh memenuhi syarat ini dari gurunya Syaikh Sa’ad, begitu pula Syaikh Sa’ad dari gurunya Syaikh al-Qadhi Muhammad bin Abdul Aziz al-Ja’fari, begitu pula Syaikh al-Ja’fari dari gurunya al-Allamah Abdul Haq al-Muhamadi yang meriwayatkan dengan syaratnya dari Imam Syaukani rahimahullahu terus musalsal sampai Sufyan bin Uyainah.[11]

Disamping musalsal tadi, beliau membaca kepada Syaikh Sa’ad bin Atiq berbagai macam kitab mulai dari tauhid, fiqh, ilmu hadits dan juga diberi ijazah ammah, sehingga beliau sah meriwayatkan dari jalannya semua riwayatnya. Kepada Syaikh Sa’ad pula beliau sempat membacakan hampir 2/3 dari Shahih Bukhori dan sisanya ijazah, yang mana Syaikh Sa’ad telah membaca kamil kepada Syaikh al-Kull Nadzir Husein ad-Dihlawi yang meriwayatkan secara musalsal sama’i sampai kepada Imam Bukhori.

Syaikh Sa’ad Hamad Atiq ini dikenal dengan ketinggian sanadnya, karena beliau meriwayatkan secara langsung dari masyaikh yang tinggi sanadnya. Mulai dari Bapaknya (w. 1301 H), Syaikh Nadzir Husein ad-Dihlawi (w. 1320 H), Syaikh Husein bin Muhsin al-Anshari al-Yamani, Syaikh Sayyid Shadiq Hasan Khan al-Qanuji (w. 1307 H), Syaikh Ahmad bin Ibrahim bin Isa (w. 1329 H), Syaikh Muhammad Basyir as-Sahsawani (w. 1326 H), Syaikh Abu Syu’aib ad-Dukkali (w. 1356 H), dan lainnya.

Pada Majlis Sama’ kepada guru kami Syaikh al-Mu’ammar Muhammad bin Abdurrahman alu-Syaikh sengaja kami membacakan Awail Abdullah al-Bashri karena mengetahui riwayat ‘aliy diatas. Riwayat guru kami ini, menjadikan antara beliau dengan al-Bashri hanya terpaut 3 perowi, sedangkan antara kami dan al-Bashri 4 Perowi. Sungguh sanad ini, dizaman kita merupakan riwayat yang ‘aliy, bahkan sendainya tidak shahih riwayat ini –sebagaimana telah kami bahas sabab musababnya- maka jika ditambah satu perowi sebagai perantara Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dengan al-Bashri, maka masih tetap termasuk riwayat yang ‘aliy, walhamdulillah. Beliau juga ‘aliy kepada banyak imam yang utama seperti kepada Syah Waliyullah ad-Dihlawi (terpaut 4 perowi), Imam asy-Syaukani (3 Perowi) dan lainnya.

Penulis mendengar dari beliau:

1. Musalsal bil Awwaliyah, dimana Syaikhuna mendengar dengan syaratnya dari al-Allamah al-Muhadits Sa’d bin Hamad bin Atiq an-Najdi (w. 1349 H).

2. Musalsal al-Hanabilah, dimana Syaikhuna mendengar dengan syaratnya dari Syaikh Hamad bin Faris an-Najdi (w. 1345 H).

3. Awail Abdullah bin Salim al-Bashri, guru kami tersambung secara aliy kepada Syaikh Abdullah al-Bashri, melalui 4 atau 5 perowi sebagai mana akan kami bahas diatas.

4. Aqidah Ath-Thahawiyah, dimana Syaikhuna mendengar dari Syaikh Al-Faqih, Al-Qadhi Al-Allamah Al-Muhadits Muhammad bin Abdul Latif bin Abdurrahman Alu Syaikh (w. 1367 H)[12], pada sanad ath-Thahawiyah ini lewat musalsal keluarga Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullahu. Selain dari Bapaknya (w. 1293 H), Syaikh Muhammad bin Abdul Latif alu Syaikh ini juga meriwayatkan dari Syaikh Hammad bin Atiq (w. 1301 H) dan Syaikh Abu Bakr bin Muhammad Arif Khuwaqir (w. 1349 H).

5. Kitab-kitab Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab, dimana Syaikhuna mendengar dari Syaikh Hamad bin Faris dan Syaikh Muhammad bin Abdul Latif alu Syaikh (musalsal sama’i).

6. Sebagian Shahih Bukhori, dimana Syaikhuna mendengar sebagian nya dari Syaikh Sa’d bin Hamad bin Atiq.

7. Alfiyah Ibn Malik, dimana Syaikh mendengarnya dari Syaikh Hamad bin Faris.

dan lainnya.

Kemudian Syaikh mengijazahi ammah secara lisan dan tertulis lewat wakilnya.

Perlu dijelaskan disini, bahwa selain Syaikhuna al-Mu’ammar Muhammad bin Abdurrahman alu Syaikh, banyak juga musnid di abad ke 14 Hijriyah ini yang masih hidup sampai dibuatnya tulisan ini dari Najd dan sekitarnya, dengan sanad mereka yang juga aliy walaupun tidak seperti Syaikh Muhammad alu Syaikh. Seperti :

1. Syaikh al-Mu’ammar Abdurrahman bin al-‘Ayyaf ad-Dausari hafizahullahu, yang meriwayatkan dari Syaikh Sulaiman bin Hamdan. Tsabat nya disebut, “Ithaful Marid bi ‘aliy al-Asanid”, disusun oleh Murid nya Syaikhuna Badr Thami al-Utaibi.

2. Syaikh Abdul Aziz al-Zahrani hafizahullahu yang meriwayatkan dari Syaikh Abdul Haq al-Hasyimi dan Syaikh Sulaiman bin Hamdan. Tsabat nya disebut, “Al-Iqd an-Nurini bi Asanid Syaikh Abdul Aziz Az-Zahrani” disusun oleh Muridnya, Syaikhuna Badr Thami al-Utaibi.

3. Syaikhuna Masy’an bin Zayad al-Haritsi hafizahullahu yang meriwayatkan dari Syaikh Abdullah al-Qar’awi dan Syaikh Sulaiman bin Hamdan,

4. Syaikhuna Dr. Abdullah bin al-Qadhi Hamud at-Tuwaijiri, yang meriwayatkan dari Ayahnya dan dari Syaikh Taqiyuddin al-Hilali.

5. Syaikhuna Dr. Abdullah bin Shalih al-Ubaid, yang meriwayatkan dari banyak sekali Masyaikh sebagaimana sebagiannya disebutkan dalam al-Imta’.

6. Dan lain-lain.

Patut diperhatikan, diantara kebiasaan Ulama Najd adalah jarang sekali seorang musnid menyusun kitab Tsabat. Sanad-sanadnya hanya disebutkan dalam ijazah-ijazah diantara mereka yang panjang-panjang, ini salah satu sebab jalur-jalur periwayatannya kurang begitu dikenal, kecuali setelah periwayatan dan pendalaman. Sependek pengetahuan saya yang menulis Tsabat dari ulama Najd terdahulu hanyalah tiga orang :

1. Syaikh Utsman bin Abdul Aziz bin Manshur at-Tamimi an-Najdi (w. 1282 H), tsabatnya berjudul, “at-Tuhfatul Wadhiyah fil Asanid al-‘Aliyah al-Mardhiyah”. Sebagaimana disebut kan oleh al-Zarkali dalam al-A’lam (4/208).

2. Syaikh Sulaiman bin Abdurrahman bin Hamdan (w. 1397 H), tsabatnya: “Ithaf al-‘Adwal ats-Tsiqat bi Ijazah Kitab al-Hadits wa al-Atsbat”.

3. Syaikh Hamud bin Abdullah at-Tuwaijiri (w. 1413 H), tsabatnya: “Ithaful Nubala bil riwayah an al-A’lam al-Fudhala”.

Belakangan beberapa murid dari Masyaikh Najd, membuatkan untuk gurunya tsabat semisal ini seperti Syaikh al-Qadhi Abdullah bin Abdul Aziz al-Aqil, Syaikh al-Mu’ammar Abdurrahman bin al-‘Ayyaf ad-Dausari dan lainnya. Hal ini dilakukan untuk lebih memperkenalkan sanad-sanad mereka kepada yang hendak merujuknya.

Ulama Indonesia Meriwayatkan Dari Ulama Najd

Diantara ulama Indonesia yang meriwayatkan dari Ulama Najd adalah Syaikh al-Musnid Muhammad Yasin Fadani rahimahullahu. Beliau meriwayatkan dari salah satu keturunan Syaikhul Islam yaitu Syaikh al-Qadhi Abdullah bin Hasan alu Syaikh (w. 1378 H) [13]. yang meriwayatkan dari Syaikh al-Allamah Ahmad bin Ibrahim bin Isa yang meriwayatkan dari Syaikh al-Allamah Abdurrahman bin Hasan yang meriwayatkan dari kakeknya Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullahu. Syaikh Abdullah alu Syaikh juga meriwayatkan dari Bapaknya (Syaikh Hasan bin Husein alu Syaikh), Syaikh Ishaq bin Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, Syaikh Hammad bin Faris, Syaikh Sa’ad bin Atiq, dan lainnya.

Syaikh Muhammad Yasin Fadani juga meriwayatkan dari Ulama Najd yang lain, seperti: Syaikh Sulaiman bin Abdurrahman alu ash-Shani’ an-Najdi, seorang musnid Najd dizamannya[14] dan Syaikh Muhammad bin Ali ibn Turki an-Najdi, pengajar di Masjidil Harom[15], dan Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz bin al-Mani an-Najdi[16]. Sebagaimana telah kami bahas pada Majalah Riwayat Edisi 2 lalu.

Selain al-Fadani, ada juga dari kalangan thabaqah guru al-Fadani seperti Syaikh al-Musnid Muhammad Bakir Nur al-Jugjawi, pengarang biografi ulama Nusantara, yang meriwayatkan langsung dari Syaikh Ahmad bin Ibrahim bi Isa an-Najdi[17], sebagaimana dituturkan al-Fadani dalam beberapa Tsabatnya. Secara ‘aliy Syaikh Ahmad bin Ibrahim bin Isa ini meriwayatkan dari Bapaknya (w. 1281 H), juga dari Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Aba Bathin (w. 1282 H), dan Syaikh Abdurrahman bin Hasan alu Syaikh (w. 1285 H), dan anaknya Syaikh Abdul Latif bin Abdurrahman alu Syaikh (w. 1293 H) dari kalangan ulama Najd, dan lainnya.

Begitulah, mudah-mudahan terangkatlah semua kejahilan. [as-Surianji].

 


[1] Majmu fi Tarjamah al-Allamah al-Muhadits Hammad bin Muhammad al-Anshari hal. 611, no. 116.

[2] Isnad yang tinggi (‘aliy atau ‘Uluw) itu terdiri dari lima macam: (1). Sanad yang pendek kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, (2). Sanad yang pendek kepada Imam-Imam ahli hadits, dan kebanyakan mereka uluw kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, (3). Sanad yang pendek kepada Syaikhain (Bukhori dan Muslim) atau kepada kitab-kitab yang terkenal. (4). Uluw karena perowinya lebih dahulu meninggal, (5) Uluw karena paling dahulu sama’ atau mengambil riwayat.

[3] Mu’jam al-Ma’ajim (2/106).

[4] Misalkan dari Syaikh Muhammad Abi al-Yasr ‘Abidin (w. 1401 H), dari Bapaknya Muhammad Abu Khair bin Ahmad (w. 1343 H), dari Bapaknya Ahmad dari Paman Kakeknya Amin ‘Abidin (Penulis al-Hasyiah).

[5] Misalkan dari Syaikh Muhammad ‘Ijy bin Muhammad bin Sulaiman bin Muhammad bin Sulaiman al-Ahdal dari Bapaknya dari Bapaknya dari Bapaknya dari Al-Wajih Abdurrahman bin Sulaiman al-Ahdal (Penulis an-Nafs al-Yamani).

[6] Liqaul ‘Asyril Awakhir bil Masjidil Haram 93 – 96 hal. 6

[7] Alhamdulillah saya telah mendengar dari Syaikh Muhammad bin Abdurrahman alu Syaikh al-Hanbali musalsal ini sebanyak dua kali, beliau berkata: telah mengkhabarkan kepada kami Syaikh Hamad bin Faris al-Hanbali yang meriwayatkannya dari Syaikh Abdurrahman bin Hasan al-Hanbali dari Kakeknya Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab al-Hanbali beliau berkata: menceritakan kepada saya Syaikh Abdullah bin Ibrahim al-Hanbali yang meriwayatkannya dari Abi Al-Muwahib Muhammad bin Abdul Baqi al-Hanbali dari Bapaknya … dan seterusnya”. Lihat juga sanad musalsal ini dalam Tsabat Syaikh Abu Bakr bin Muhammad ‘Arif Khuwaqir al-Maki al-Hanbali, “Tsabat al-Atsbat Asy-Syahirah” hal 64 dan seterusnya.

[8] Syaikh Abu Bakar Muhammad Arif Khuwaqir menyebutkan guru-guru riwayat Syaikh Abdurrahman bin Hasan dalam Tsabatnya. Diantaranya Syaikh Husein bin Ghanam al-Ahsa’i, Mufti al-Jazair Muhammad bin Mahmud al-Jazairi al-Hanafi al-Atsari, Syaikh Abdurrahman bin Hasan al-Jabarti, Syaikh Hasan al-Qawaisani, Syaikh Abdullah bin Suwaidan dan Ibrahim al-Ubaidi (hal 31-32).

[9] Liqaul ‘Asyril Awakhir bil Masjidil Haram 93 – 96 hal. 35

[10] Lihat Mu’jam Mushanafaat al-Hanabilah (6/296).

[11] Alhamdulillah Kami mendengar hadits musalsal ini diawal pendengaran kami kepada Syaikh Muhammad bin Abdurrahman alu Syaikh pada 20 Februari 2013, sehingga terpenuhi syarat musalsal bil Awwaliyah melalui jalan beliau.

[12] Lihat Mu’jam Mushanafat al-Hanabilah (6/361).

[13] lihat dalam Mu’jam al-Ma’ajim (3/36), Mu’jam Mushanafaat al-Hanabilah (7/42).

[14] lihat Mu’jam al-Ma’ajim (3/33)

[15] lihat Mu’jam al-Ma’ajim (3/52)

[16] lihat Mu’jam al-Ma’ajim (3/51)

[17] Lihat Mu’jam Mushanafat al-Hanabilah (6/216).

Leave a Reply

Mohon berkomentar dengan santun

Labels